Puluhan Orang Sentul City Robohkan Rumah di Kampung Tapos Bojong Koneng

IMG-20230921-WA0001.jpg

Bogor – Remuk redam perasaan pasangan suami istri Emal (60) dan Nur (57) warga Kampung Tapos, Desa Bojongkoneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, ketika ia bersama enam orang anaknya menyaksikan rumah yang didiami dan dijaga selama 20 tahun luluh lantak dirobohkan alat berat yang diduga milik Sentul City hanya dalam hitungan menit, pada Senin (18/9/2023) siang.

“Saat itu pukul 12.00 Wib rumah dalam keadaan kosong karena ditinggal makan siang sebentar, nah gak lama dapat informasi rumah dirobohkan pihak Sentul City menggunakan beko (alat berat), kita langsung lari minta supaya alat berat berhenti karena memang tidak ada pemberitahuan apa-apa dari pihak Sentul City sebelumnya, pemilik rumah pun tidak memberikan informasi kepada kami. Namun mereka (sentul City) tidak menghiraukan, sungguh tidak berprikemanusiaan,” tutur Emal, saat dijumpai bersama istri dan keenam anaknya di kediamannya di Kampung Tapos, Selasa (19/9/2023) malam.

Masih kuat dalam ingatan Emal, situasi saat itu menjadi tidak terkendali, upayanya mempertahankan rumah kandas, perasaannya bercampur aduk antara sedih dan marah terlebih ketika menantu perempuannya yang tengah mengandung berlari dan berteriak sambil menangis sejadi-jadinya meminta agar alat berat dihentikan dulu, karena ada pakaian dan barang-barang di dalam rumah yang belum dibereskan, namun puluhan orang yang diduga suruhan pihak Sentul City ini bergeming. Melihat kejadian ini, Emal tak tega dan segera mengungsikan menantunya ke rumah agar bisa menenangkan diri. Setelah menikah, Herman anak tertua Emal bersama istrinya yang tengah hamil memang menetap menggantikan posisi menjaga rumah, terhitung sudah 3 tahun Herman bersama istrinya di rumah tersebut.

“Saya sangat jengkel dan marah ketika istri menangis, saya minta mediasi dan coba meminta surat tugas kepada mereka, namun tidak diberikan dan malah menyuruh ke kantor. Sakit hati saya melihat dan mengingat kejadian kemarin itu, apalagi sudah 3 tahun tinggal disitu sejak menikah, kalau ada situasi genting kita sekeluarga biasa berkumpul di rumah itu, susah sedih disana,” kata Herman.

Heri, anak lelaki Emal nomor dua, saat kejadian perobohan rumah itu bereaksi setengah memaksa kepada operator alat berat (beko) untuk berhenti, alasannya ada barang-barang yang harus dipindahkan keluarganya dari dalam rumah, selain itu penggusuran ini bagi Heri ilegal dan sepihak.  

“Sesaat setelah kita sampai di lokasi kan rumah sudah separo dirobohkan, maka saya minta off dulu, karena ingin membenahi pakaian dan barang-barang di dalam, beko sempat berhenti sebentar tapi atas nama Pa Awang kemudian melanjutkan, padahal kita belum sempat berbenah. Setelah selesai merobohkan rumah, mereka langsung pergi dan tidak menghiraukan kita sekeluarga,” kata Heri.

Rasa sakit hati atas perbuatan pihak Sentul City juga dirasakan Nur, istri Emal, seperti pada umumnya perempuan, Nur tidak dapat mengendalikan emosinya, rasa sakit hatinya tak terperikan, bahkan sejak kebun yang ditanami pepohonan dan tanaman di sekitar rumah di buldoser Sentul City beberapa waktu sebelumnya.

“Sakit we pak, sejak waktu penggusuran lahan kebon pada 2021 dulu, makan juga gak nafsu saya pedihnya bukan main. Kemarin juga kita marah-marah ke Ajang dan Awang, berani waktu gak ada saya, perampok luh, malah pergi dia takut, ini pakaian anak saya kenapa dirusak kaya begini, kalian itu sama tetangga kenapa gak ngomong, gak didengerin, mulut sampai kering karena melihat anak nangis. Rumah bos saya sudah seperti rumah saya sendiri, saya makan minum, anak-anak saya sampai gede, kerja dari situ, saya jadi sedih, kalau saya tau biarin saya pasrah dicauk sama beko, kalau saya ada disitu, pasrah beneran, tidak akan menyerah begitu saja, sakit beneran,” ungkap Nur, sambil meneteskan air mata

Cara-cara pihak Sentul City merobohkan rumah bagi Emal sangat arogan dan penuh kesewenang-wenangan, selain tidak menunjukan surat tugas di lapangan, para eksekutor yang disebut Emal mirip preman ini melakukannya seperti sembunyi-sembunyi, ketika rumah dalam keadaan kosong.

“Jadi apa kalau bukan preman namanya, seperti hukum di negara ini tidak berlaku bagi mereka, diam-diam ketika rumah dalam keadaan kosong mereka bergerak, bahkan kami belum sempat membereskan barang-barang, hancur semua oleh mereka. Apalagi setahu saya proses mediasi dengan pemilik rumah kan belum selesai,” ujar Emal. 

Pemilik Rumah Yang Dekat Dengan Warga

Sejatinya rumah yang terletak di Jalan Bukit Aladin, Kampung Tapos, Desa Bojongkoneng, Babakan Madang, yang lahannya sejak lama menjadi kontroversi dan kerap memicu konflik antara warga dengan pengembang properti Sentul City ini bukanlah milik Emal, ia hanya bertugas menjaga rumah tersebut. Pemilik sesungguhnya seorang perwira tinggi TNI.

Alkisah, pada sekitar tahun 2000 saat Emal masih bekerja serabutan sebagai pemecah batu di pinggir jalan, ia didatangi seseorang dan menawarkannya pekerjaan untuk menjaga lahan. Singkat cerita, Eman pun menyanggupinya, selain mendapat bayaran dan tunjangan setiap bulan, pemilik rumah yang saat itu masih menjabat perwira pertama memberikan Emal kebebasan penuh mengelola dan mengambil manfaat dari tanaman dan buah-buahan kebun yang ditanam di halaman. 

“Ini saya beli dari warga Desa Bojong Koneng, kalau kamu mau saya titipkan karena kamu orang sini, saya pasrahkan tanah seluas 2 hektar (225 m x 80 m) ini kepada kamu, kalau ada longsor kamu betulin, kamu laporin ke saya, terserah kamu mau tanam apa silahkan,” kenang Emal menirukan perkataan pemilik rumah.

Sejak saat itu, Emal pun memboyong istri dan anak-anaknya untuk tinggal di atas lahan dan rumah tersebut, pelan-pelan keluarga ini berbenah, jalan kehidupan Emal pun lambat laun mulai berubah. Ia tidak terlalu keteteran membiayai hidup keluarganya, ada lahan sisa bangunan rumah yang masih luas ia tanami berbagai macam pohon dan tanaman, ada singkong, mangga, pisang, tales, kecapi, jengkol, durian, mangga, mahoni bahkan jati. 

“Saya tinggal sama istri dan anak-anak sejak tahun 2000 di rumah dan lahan itu, saat itu anak saya nomor 3 Hendri masih berumur 7 bulan, saya banyak tanami berbagai jenis pepohonan di lahan itu, bahkan pada tahun 2015 kita sempat panen mangga, jengkol, makanya saya anggap lahan dan rumah itu seperti rumah kami sendiri. Saya sangat bersyukur karena pemilik rumah juga sangat baik dan perhatian, pelan-pelan kami bisa nabung. Sudah tidak terhitung lagi kebaikan beliau kepada keluarga kami,” kata Emal. 

Rupanya tidak hanya kepada keluarga Emal, pemilik rumah ini pun dikenal dekat dan perhatian dengan lingkungan dan warga sekitar, bahkan beberapa kegiatan sosial tercatat menjadi agenda tahunan untuk membantu warga.  

“Bukan saya saja yang menikmati kebaikannya, termasuk orang sini juga, waktu pengobatan gratis di hambalang misalnya beliau rela menjemput warga dengan mobil, adalagi penyaluran sembako saban tahun bahkan sekitar tahun 2016 lalu ia membangun tempat ibadah (musholla) untuk beribadah warga, terkadang kebaikannya melebihi, sosialisasi kepada masyarakat juga sangat bagus,” kata Emal.

Kini, pasangan lansia Emal dan Nur beserta anak dan cucunya harus mulai menghitung-hitung lagi langkah kehidupan di depan, pendapatan dan tunjangan setiap bulan yang puluhan tahun ia terima sebagai kompensasi mengurus lahan dan rumah, bisa jadi terhenti, lahan yang bisa ia manfaatkan untuk berkebun dan menanam pohon dan buah tropis kini juga sudah diambil Sentul City.

“Saya hanya masyarakat kecil buta huruf, tidak tahu urusan lahan apakah itu garapan, HGB atau itu HGU, yang saya tahu kini masyarakat kecil seperti saya dan keluarga terkena dampak, bisa hilang pengharapan kami ke depan. Seharusnya pemerintah dan orang-orang pintar di atas hadir, bantu kami, jangan selalu mihak pengusaha yang punya banyak uang saja, apakah lahan itu nantinya bermanfaat bagi rakyat atau buat orang tertentu saja,” katanya.(Redaksiswanara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

scroll to top