Pendukung Jokowi ada yang protes ke saya, karena –menurutnya– mestinya saya tidak membandingkan Jokowi sebagai mantan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dengan Pemimpin Umat (Keagamaan).
Harusnya –masih menurutnya– saya membandingkan Jokowi dengan sama-sama mantan Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Hemmm…padahal kalau dia tahu, Paus Fransiskus itu aslinya selain sebagai Kepala Agama (Umat Katolik) juga Kepala Negara Vatikan.
Sedangkan kalau Jokowi saya bandingkan dengan mantan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan lainnya, waaah…ini bisa tambah amburadul lagi.
Misalnya kalau saya bandingkan Jokowi dengan mantan Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan lainnya seperti Jerman. Nanti jangan protes lagi ya soal perbandingan saya ini dengan sudut pandang Ilmu Hukum Tatanegara.
Sebab Indonesia dipimpin oleh Presiden sedangkan Jerman selain ada Presiden juga ada Kanselir (Bhs. Jermannya Kanzeler) semacam Perdana Menteri kalau untuk negara Parlementer lainnya, yang memiliki kekuasaan eksekutif yang besar dan bertanggung jawab pada parlemen. Dan tentu saja kekuasaan di Jerman itu juga dibatasi oleh konstitusi (Grundgesetz).
Jadi di Jerman yang memiliki kewenangan eksekutif yang besar dalam berbagai kebijakan negaranya itu justru Kanselirnya, bukan Presidennya. Tidak seperti yang ada di Indonesia yang menganut Sistem Presidensiil (saya lebih suka nulis Presidensiil karena kalau nulis Presidensial, nanti presiden kita sial terus 😆).
Meski demikian Presiden di Jerman itu kebanyakan hanya sebagai simbolis saja. Kalau di Indonesia Jokowi waktu jadi presiden kan tidak begitu, dia malah bagi-bagi Bansos sendiri yang Mensosnya saja ketika itu (Bu Risma) saya tanyai juga bingung, karena seolah beliau “dikerjain” oleh Presiden Jokowi.
Meskipun beliau tidak berkata begitu melainkan hanya dengan Bhs. Jawa ala Suroboyoan yang sangat mudah difahami oleh orang-orang Jawa Timur seperti saya, yang masa kecil atau remaja saya suka nongkrong di Surabaya.😄
“Saestu Mas, kulo mboten semerap nopo-nopo”. Beneran Mas, saya tidak tahu apa-apa”. Kata Bu Risma pada saya ketika itu, yang sedang ngobrol berdua dengan saya di sebuah ruangan di Jakarta Pusat.
Ratusan triliunloh dana Bansos di era Pemerintahan Jokowi itu amburadul, gak jelas. Pokoknya tahunya rakyat itu, Jokowi suka bagi-bagi Bansos atas nama Bantuan Presiden, yang jumlahnya kalau dihitung hanya beberapa miliar gak akan sampai ratusan triliun !. Taruhan deh !…
Apabila dibandingkan antara kehidupan Jokowi dan mantan Kanselir (Bhs. Jerman Kanzeler) Jerman Angela Markel saat masih sama-sama menjabat dan setelah menjabat sebagai Presiden dan satunya lagi Kanselir, sangat jauh sekali perbedaannya, baina samai wal ardhi (antara langit dan bumi !).
Angela Markel mantan Kanselir Jerman yang cantik itu hidupnya sangat sederhana, tidak mau tinggal di istana namun di apartemen sangat sederhana bersama suaminya, tanpa seorangpun asisten rumah tangga. “Gile” tidak?!…Angela Markel masak sendiri, nyuci baju sendiri dll. padahal saat itu juga Angela Markel masih menjabat sebagai Kanselir Jerman, apalagi sekarang ketika sudah tidak lagi menjabat sebagai Kanselir Jerman.
Jadi mohon pendukung Jokowi sesekali buka mata, buka telinga dan perhatikan kehidupan nyata Jokowi dan keluarganya yang gemar koleksi barang-barang mewah dan harta anak-anaknya yang miliaran, meskipun usaha martabak dan pisangnya bangkrut, meskipun Bobby Nasution (menantunya) dan Kahiyang (istri Bobby dan anak Jokowi) pernah disebut-sebut di persidangan korupsi di Halmahera Maluku utara sebagai Blok Medan (Blok M) yang terindikasi kasus korupsi besar di bisnis pertambangan.
Sayangnya KPK sampai hari ini tidak memprosesnya malah memproses kasus suap recehan Harun Masiku yang orangnya gak ketemu-ketemu kemudian seoal-olah KPK memaksakan diri menyeret-nyeret Sekjen PDIP Mas Hasto Kristiyanto, yang kasusnya tidak merugikan keuangan negara 100 rupiahpun ! Sapere aude ! Beranilah berpikir !…(SHE).
28 April 2025.
Saiful Huda Ems (SHE). Mantan pemimpin redaksi majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se Jerman di Berlin Jerman dan Dewan Penasehat Hukum di beberapa media online di Indonesia.