Swanara — Dalam ajaran Islam, suami wajib memberi nafkah pada istrinya berupa kebutuhan pokok yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemam puannya. Dan orang yang tidak mampu hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (at-Thalaq:7).rumah tangga. Harusnya tidak ada yang dirahasiakan di antara mereka terkait dengan apa yang dibutuhkan dalam rumah tangga.
Jika keadaan tidak memungkinkan, misalnya karena suami dikenal amat pelit, maka berdasarkan ayat dan hadits di atas, istri boleh berutang kepada orang lain tanpa seizin suami. Tapi hal ini hanya boleh dilakukan oleh istri jika dalam keadaan amat terpaksa.
Hal ini disandarkan pada kaidah ushul fiqih: Adh-dharuratu tubihul mahzhurát (keadaan darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang mestinya dilarang).
Dalam hadits tentang istri Abu Sufyan di atas, Rasulullah memberi syarat bolehnya istri mengambil uang belanja tanpa sepengetahuan suami yang pelit adalah secara makruf (secara baik dan bijak atas pertimbangan kemaslahatan).
Dalam kasus istri berutang tanpa seizin suami ini pun harus dilakukan secara makruf pula; artinya harus benar-benar untuk kebutuhan riil rumah tangga, dan harus dalam batas kemampuan wajar suami karena utang tersebut menjadi tanggung jawab suami untuk mengembalikannya.
Permasalahan lain yang juga sering muncul adalah lebih diutamakan mana antara orang tua dan suami? Orang yang mengerti agama tidak akan pilah-pilih sebab semua itu adalah kewajiban yang harus terlaksana dengan baik, tanpa ada yang terabaikan.
Dalam berbagai ceramah, sering disampaikan riwayat betapa istri harus mengutamakan suami di atas segalanya, sampai-sampai ibunya sakit hingga wafat pun, istri tidak berani menjenguk karena pesan suami yang melarangnya keluar rumah. Sungguh sampai saat ini tidak ditemukan riwayat ini dalam kitab-kitab hadits, karena itu amat diragukan kebenarannya.
Andai benar terjadi, maka ini bukan kesetiaan, tapi ketidakmengertian, bahkan kebodohan. Andai riwayat ini benar ada, maka pastilah bukan hadits sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum, apalagi dengan melangkahi Alquran dan hadis sahih.
Lupakah mereka betapa banyaknya ayat Alquran dan hadits sahih yang menekankan kewajiban berbakti kepada orang tuanya tanpa batas waktu, di samping kewajiban patuh pada suami dengan syarat suami juga patuh pada Allah dan sudah menunaikan kewajibannya sebagai suami.
(Redaksi Swanara)
Outstanding feature
great article
Insightful piece
Добрый день!
Заказать диплом ВУЗа.
nvidia-masterprogram.ru
Диплом пту купить официально с упрощенным обучением в Москве